Senin, 26 September 2011

Kasus Pemenggalan Patung Wayang di Purwakarta

Sejumlah massa gabungan ormas islam dan pondok pesantren merubuhkan patung di sejumlah sudut di Purwakarta. Aksi yang mereka lakukan tersebut merupakan akumulasi kekesalan terhadap bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, karena membangun patung meski sudah diperingatkan berkali-kali. Suasana kota Purwakarta pun mencekam ketika massa menghancurkan satu per satu patung wayang yang bernilai ratusan juta rupiah dan sasaran pertama mereka adalah patung gatot kaca di perapatan comro. Mereka menghancurkan patung tersebut dengan menggunakan tambang yang diikatkan di bagian leher. Kemudian menariknya hingga roboh secara beramai-ramai. 

Aksi tersebut dilanjutkan dengan penghancuran patung semar dan bima, aksi tersebut nyaris saja bentrok dengan aparat kepolisian setelah aksi penghancuran patung arjuna di pertigaan jalan BTN setelah digagalkan polisi. Perusakan patung di Purwakarta, Jawa Barat, merupakan tindakan vandalisme. Apa pun alasannya, tindakan itu tak bisa ditorelir. Karena negara kita merupakan negara hukum, jadi segala sesuatunya harus dikembalikan pada hukum. Meskipun sekelompok perusak patung itu menggunakan alasan agama, tetap saja itu tidak dibenarkan. Karena indonesia merupakan negara hukum, bukan negara islam. Terlebih lagi islam tidak mengajarkan perbuatan perusakan semacam itu. Allah melarang kita berbuat kerusakan dan tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Jadi, perusakan itu justru bertentangan dengan ajaran Islam yang dibawa-bawa oleh sekelompok perusak di Purwakarta itu. Tindakan mereka justru telah mengotori ajaran Islam dan mencoreng citra Islam yang sejuk. 

Tindakan perusakan patung wayang oleh sejumlah Ormas Islam di Purwakarta disesalkan kalangan seniman khususnya para dalang dan masyarakat pecinta budaya wayang. Menurut Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) DKI Jakarta, Rohmad Hadiwijoyo, wayang merupakan gambaran keadaan kehidupan yang memiliki relevansi yang kuat dengan dunia kita. Melalui wayang dapat dipetik pelajaran dan memungut hikmah dari kisah-kisah pewayangan melalui tokoh-tokoh wayang tersebut. Kearifan budaya lokal, seperti wayang sesungguhnya mengandung filosofi yang sangat tinggi dan mendalam mengenai makna hidup dan ini pun diajarkan dalam agama. 

Perbedaan budaya dan agama seharusnya dapat diselesaikan dengan komunikasi. budaya dan agama seharusnya bisa saling mengisi dan perlunya adanya dialog antar lintas agama dan budaya sehingga kejadian seperti ini tidak terulang kembali. The Wahid Institute menyayangkan aksi perusakan terhadap sejumlah patung di Purwakarta, Jawa Barat. Tidak seharusnya aksi barbar itu dilakukan, apalagi sasarannya adalah simbol-simbol kebudayaan. Menurutnya itu merupakan perbuatan yang salah alamat, itukah simbol pewayangan, simbol kebudayaan, budaya Indonesia. Sejumlah orang melakukan perusakan atas tiga patung di Purwakarta. Mereka menilai pembangunan patung-patung tersebut memboroskan anggaran dan tidak sesuai dengan ciri khas Purwakarta. Namun kuat dugaan aksi perusakan dipicu anggapan bahwa patung-patung tersebut bisa dijadikan sebagai media kemusyrikan. Aksi tersebut dilakukan didepan aparat keamanan, sehingga memunculkan kesan polisi tidak tegas terhadap kelompok tertentu yang membawa nama agama. Pada situasi ini harus jadi bahan evaluasi bersama agar polisi dapat hadir dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Aparat kepolisian bungkam dengan pengrusakkan patung wayang di Purwakarta. Mereka sangat berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan di media massa, karena kasus ini terbilang sangat sensitif dan dapat memicu persoalan lain. Meskipun demikian sejumlah anggota polisi mulai melakukan identifikasi dengan mengamankan barang bukti di berbagai titik penghancuran. Kemudian penjagaan di berbagai lokasi kian di perketat. Dalam kasus ini diharapkan agar polisi mengusut tuntas dan menyelesaikan masalah ini secepatnya agar tidak menjadi preseden buruk bagi ketertiban masyarakat. Hukum di mana saja bisa lemah atau kuat pada suatu masa. Tetapi tak sedikitpun dari kita boleh kehilangan kepercayaan terhadap hukum, apa pun keadaannya. Jika tidak begitu, di depan kita hanya akan ada anarki dan anarki. patung itu sejenis buku dalam bentuk lain. Orang boleh tak setuju isinya, tapi tak boleh juga merusaknya. sumber: okezone

Fenomena mudik

Fenomena mudik ini telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Setiap tahun jumlah pemudik meningkat dari tahun ke tahun. Mudik lebaran dapat dianggap sebagai sebuah ritual religius dan sosial. Religius karena kebiasaan ini dilakukan bersama dengan perayaan tahunan hari besar lebaran. Sosial karena kebiasaan mudik lebaran sarat akan makna kekeluargaan karena didalamnya terjadi proses reuni anggota keluarga.

Mudik lebaran juga sering kali digunakan oleh masyarakat sebagai simbol meningkatkan status sosial yang diukur dari keberhasilan ekonomi. Bagi sebagian masyarakat kecil, maka mudik merupakan bentuk pelepasan dari penderitaan dan tekanan hidup di perkotaan. Dan untuk sebagian masyarakat lainnya, mudik ini pun dianggap sebagai rekreasi yang mengandung keunikkan tersendiri. 

Dari perspektif penataan ruang, maka fenomena mudik lebaran semakin mengkonfirmasi masih terjadinya ketergantungan yang besar pada beberapa aglomerasi kota-kota utama Indonesia. Maka fenomena mudik lebaran merupakan salah satu cermin kebelum-berhasilan kita dalam mensejahterakan masyarakat desa dan membangun kawasan perdesaan secara lebih berimbang dengan kawasan perkotaan. Kota-kota, dengan segala daya tariknya tetap menjadi magnet utama bagi masyarakat desa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. 

Dari beberapa pihak meyakini bahwa besarnya jumlah pemudik ini merupakan tambang emas bagi pembangunan daerah asal pemudik. Pemudik, biasanya membawa sejumlah dana untuk keperluan berbagi dengan keluarga dan keperluan konsumtif, dari aktivitas pembelanjaan ini ekonomi lokal dapat bergerak naik dan mendorong pembangunan daerah. Tetapi, pengamat administrasi pembangunan Irfan Ridwan Maksum justru mengatakan jangan terlalu berharap dari modal yang dibawa para pemudik. Pasalnya, kehadiran sejumlah besar pemudik di daerah asal bersifat sesaat dan hanya pada momen tertentu. Pemerintah Daerah (Pemda) pun tidak punya kuasa untuk mengatur penggunaan modal yang dibawa para pemudik ini, guna menggerakkan perekonomian daerah. Secara nasional, kata Irfan, belum meratanya pembangunan dikarenakan Indonesia belum memiliki kelembagaan pembangunan perkotaan nasional. Kebijakan politik otonomi daerah pun, rasanya sampai saat ini belum mengaitkan bagaimana kelembagaan perkotaan di daerah ditata. Akibatnya, Sumber Daya Manusia terus tersedot dan beralih ke kota-kota besar yang lebih menjanjikan dalam hal pembangunan, dan otomatis ketersediaan lapangan kerja. 

sumber : okezone