Selasa, 03 April 2012

TUGAS HUKUM INDUSTRI (TUGAS KELOMPOK)

Bambang kini tengah menangani beberapa perkara HKI, antara lain perkara sengketa merek yang sedang dihadapi kliennya yakni PT. Puri Intirasa pemilik restoran ”Waroeng Podjok” yang telah lama beroperasi di mal Pondok Indah, Pacific Place, Plaza Semanggi dan beberapa mal lainnya. Menurut Bambang, sengketa merek kliennya dengan pihak Rusmin Soepadhi diawali dengan adanya somasi kepada kliennya serta peringatan terbuka di harian umum oleh pihak Rusmin sebagai pendaftar merek ” warung pojok”. Atas dasar itu serta hasil penelitian bahwa pihak Rusmin baru melakukan pendaftaran tahun 2002 setelah ”Waroeng Podjok” dikenal umum dan terindikasi adanya pendaftaran tanpa itikad baik, pihak Waroeng Podjok milik PT. Puri Intirasa yang diwakilinya melayangkan gugatan pembatalan merek melalui Pengadilan Niaga.


Bambang mengatakan, pihaknya melayangkan gugatan ke pihak Rusmin bukan tanpa alasan, lantaran antara lain karena kliennya sudah mengoperasikan restoran dengan nama ”Waroeng Podjok” sejak tahun 1998 dan dapat dibuktikan dengan adanya Surat Setoran Pajak pada Dinas Pendapatan Daerah sejak tahun 1999. Klien kami juga dapat membuktikan adanya Surat Keputusan pengukuhan pajak dari Kepala Dinas Pemerintahan Daerah pada tahun 1999. Disamping itu klien kami juga sudah mendapatkan pengakuan dari Ditjen Pariwisata sehubungan dengan usaha makanan tradisionalnya. Bahkan sejak itu beberapa media cetak lokal maupun lingkup Asia telah meliput usaha kuliner tradisional ”Waroeng Podjok”.

“Klien kami menggugat karena memang melihat adanya pelanggaran, itikad tidak baik dan kesewenangan dalam pendaftaran nama Warung Pojok oleh pihak Rusmin. Klien kamilah yang pertama menggunakan nama Waroeng Podjok sejak 1998. Namun pihak Rusmin mengirim somasi pada klien kami dan membuat pernyataan terbuka di harian umum bahwa mereka sebagai pendaftar merek ”Warung Pojok” dan seolah penggunaan merek ”Waroeng Podjok” oleh PT. Intirasa adalah ilegal.

Akhirnya dalam proses pengadilan terbukti bahwa PT Puri Intirasa merupakan pihak yang terlebih dulu membuka usaha dengan nama “Waroeng Podjok”. Sehingga tuntutan pihak Rusmin terhadap PT Puri Intirasa agar tidak menggunakan nama ”Waroeng Podjok” serta membayar ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp 6 miliar, seluruhnya ditolak pengadilan dengan salah satu pertimbangan bahwa PT Puri Intirasa telah lebih dahulu melakukan usaha restoran dengan nama ”Waroeng Podjok”.


Dalam pertimbangannya Majelis Hakim juga mengingatkan bahwa istilah/kata ”Warung Pojok” sudah dikenal dari masa ke masa. Bambang melanjutkan, meskipun gugatan balik pihak Rusmin seluruhnya ditolak Majelis Hakim, terasa masih ada yang menggantung, yakni Majelis Hakim belum memerintahkan mencabut pendaftaran merek “Warung Pojok”. Apabila nama itu memang dianggap sudah ada dari masa ke masa yang artinya sudah dianggap milik umum, maka semestinya Pengadilan memerintahkan pencabutan pendaftaran merek tersebut agar tidak menjadi monopoli pihak pendaftar saja, dan pihak lain dapat menggunakannya.



Bahkan dalam proses persidangan terungkap bahwa sejak pendaftarannya pada tahun 2002 nama “Warung Pojok” tidak pernah digunakan oleh pihak Rusmin. Baru pada awal tahun 2008, tidak lama sebelum mengajukan somasi dan peringatan terbuka di harian umum pihak Rusmin menggunakan nama itu untuk restorannya yang baru dibuka. Berdasarkan ketentuan pasal 61 ayat 2 a UU Merek semestinya Ditjen HKI menghapus pendaftaran merek tersebut karena telah tidak digunakan lebih dari tiga tahun sejak pendaftarannya.


Kasasi ke Mahkamah Agung
Lantaran tuntutan membayar ganti rugi materill dan immaterill serta tuntutan agar PT Puri Intirasa tidak lagi menggunakan nama “Waroeng Podjok” seluruhnya ditolak Majelis Hakim, pihak Rusmin mengajukan kasasi atas putusan tersebut ke Mahkamah Agung, yang didaftarkan melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada hari Senin tanggal 8 September 2008 lalu. 

Menghadapi upaya kasasi tersebut, Bambang mengatakan pihaknya telah mempersiapkan beberapa langkah antisipasi. Kami berharap Mahkamah Agung mempertimbangkan kenyataan bahwa pihak pendaftar merek ”warung pojok” tidak pernah menggunakan nama tersebut sejak pendaftarannya pada tahun 2002 hingga pertama kalinya di awal tahun 2008. Menurut UU Merek jika dalam rentang waktu tiga tahun suatu merek tidak digunakan, maka Ditjen HKI akan menghapus pendaftaran merek tersebut. Tanpa adanya tuntutan dari pihak lainpun seharusnya Ditjen HKI berinisiatif menghapus pendaftaran merek tersebut, sebagaimana diamanatkan UU.

Sumber : www.majalahfranchise.com
http://indocashregister.com/2009/01/02/kasus-sengketa-merek-waroeng-podjok-vs-warung-pojok-mesinkasir/


Pemain & Perannya :
Baiq Mardiana Hikmawati: Jaksa
Dimas Prihantoro : Saksi
Ditya Prifiani : Saksi
Esa Rahmanda H : Saksi
Ida Ayu Krisna: Penggugat
Marshi Dwi Rahma : Saksi
Nadia Anastasia Putri: Tergugat
Oktarini Gintings: Hakim
Rahmat Dodi: Penasihat
Riki Apriadi: Penuntut Umum

Minggu, 04 Maret 2012

Kasus Hukum Industri


KEKUATAN SEBUAH ORISINALITAS

   
Atas nama Usman Joko        Atas nama Sambudi Ongko

 








Kesadaran hukum akan pentingnya melindungi Logo dari suatu produk semakin dirasa oleh para pebisnis di Indonesia. Selama periode tahun 2009 tercatat ada 86 kasus berkaitan dengan HAKI, 74 diantaranya adalah gugatan Merek, 2 gugatan hak hak cipta, 7 gugatan desain industri dan 3 gugatan Paten. Meskipun statistik 2009 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2008, namun pengetahuan para aparat penegak hukum di lingkup Pengadilan Niaga dalam memutus suatu perkara terasa lebih berkualitas. Terbukti dengan kasus pelanggaran Hak Cipta antara PT. Garuda Top Plasindo dan Usman Joko yang cukup berbelit.
Logo 'PLUS' yang tercantum pada produk cakram optik adalah pusat dari sengketa mereka. Memang cakram optik bukan lagi benda mewah bagi masyarakat Indonesia, hampir setiap orang menggunakannya baik sebagai alat rekam data audio dan video maupun sebagai media penyimpan elektronik. Teknologi yang menjamur merangsang peningkatan jumlah pengguna sekaligus penyedia cakram optik.
Logo 'PLUS' ini pertama kali di ciptakan oleh Sambudi Ongko pada tahun 1998 dan mulai digunakan dalam produk-produk milik Sambudi sejak tahun 2002. Logo tersebut kemudian dicatatkan Hak Ciptanya ke Direktorat Jendral Hak Atas Kekayaan Intelektual (DitJen HKI) atas nama PT. Garuda Top Plasindo (yang merupakan perusahaan milik Sambudi Ongko) pada tanggal 20 Agustus 2007.
Tak lama berselang, permohonan pendaftaran Hak Cipta Logo 'PLUS' milik Sambudi Ongko dikabulkan oleh DitJen HKI dengan No. Daftar 035048. Namun betapa terkejutnya Sambudi Ongko ketika mengetahui bahwa dalam Daftar Umum Ciptaan telah tercatat/terdaftar lebih dulu Logo 'PLUS' atas nama Usman Joko dengan nomor pendaftaran 034487, yang jelas sangat memiliki kesamaan dengan Logo 'PLUS' milik Sambudi Ongko.
Pada prinsipnya hak atas Ciptaan tidak wajib didaftarkan, Hak atas Ciptaan akan lahir seketika pada saat atau segera setelah Ciptaan itu diciptakan. Adapun permohonan pencatatan di Ditjen HKI berguna sebagai salah satu alat bukti jika terjadi sengketa tentang siapa Pencipta dari suatu Ciptaan. Namun karena yakin bahwa dirinya adalah Pencipta logo tersebut, terlebih lagi berdasarkan penelusuran yang dilakukannya ia menemukan bahwa ternyata Usman Joko telah menggunakan Logo 'PLUS' tersebut pada produk-produk yang sama, yaitu cakram optik, dan menjual di pasaran luas, akhirnya Sambudi Ongko melayangkan Gugatan Pembatalan atas Seni Logo 'PLUS' yang terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan No. Daftar 034487 atas nama Usman Joko ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Kejelian Majelis Hakim yang diketuai oleh Sugeng Riyono, SH benar-benar di uji kali ini, mengingat minimnya kasus gugatan yang berkaitan dengan Hak Cipta yang masuk ke Pengadilan Niaga. Dalam Gugatannya, Sambudi Ongko menyatakan bahwa Dialah Pencipta asli dari Logo 'PLUS' dan Usman Joko melalui perusahaannya PT. Ojiprintech Indonesia telah melakukan pelanggaran Hak Cipta serta telah mengajukan permohonan pendaftaran Hak Cipta Seni Logo 'PLUS' dengan itikad tidak baik.
Dalam persidangan, Sambudi Ongko melalui Kantor Hukum Amir Syamsuddin & Partners dengan jelas dapat memaparkan proses penciptaan Logo 'PLUS' tersebut. Mulai dari sejarah dan inspirasi yang melatarbelakangi penciptaan Logo 'PLUS' tersebut, bukti-bukti proses penciptaan, warna-warna yang digunakan, hingga teknik penulisan kata 'PLUS' pada Logo 'PLUS' yang terdapat di dalam Logo tersebut.
Sambudi Ongko membuktikan bahwa Logo 'PLUS' tersebut datang dari lambang Salib bagi umat Katolik, kemudian secara detail beliau mengatakan bahwa Salib tersebut digambarkan sama panjang pada keempat sisinya, sehingga menyerupai tanda 'PLUS'. Logo 'PLUS' dan huruf 'P' inilah yang menjadi poin utama orisinalitas ciptaan Logonya sekaligus menjadi kunci rahasia apabila sewaktu-waktu ada pihak lain yang dengan beritikad tidak baik mendompleng ketenaran produknya.
Akhirnya setelah melalui tahap persidangan dan pembuktian yang cukup panjang dan melelahkan, Majelis Hakim yang diketuai oleh Sugeng Riyono, SH dalam salah satu amar Putusannya menyatakan bahwa Sambudi Ongko lah yang terbukti sebagai Pencipta Asli/orisinil atas Logo “PLUS”, Penambahan lingkaran warna biru pada Logo “PLUS” milik Usman Joko, tidak diperhitungkan sebagai sesuatu yang berbeda dari kedua Ciptaan tersebut. Majelis Hakim juga menyatakan dalam amar Putusannya bahwa pendaftaran Logo “PLUS” milik Usman Joko telah diajukan dengan itikad tidak baik.
Kemenangan Sambudi Ongko dalam kasus ini melalui pembuktian orisinalitas Ciptaannya merupakan bukti bahwa penegakan hukum hak atas kekayaan intelektual di Indonesia, khususnya di bidang Hak Cipta, sudah lebih berkualitas dan tidak sekedar mendasarkan segalanya pada selembar kertas bernama “Sertifikat”.

Perusahaan Farmasi AS Persoalkan HaKI
Produk asal AS kerapkali dipalsukan dan dijual bebas di Indonesia.
RABU, 11 FEBRUARI 2009, 16:59 WIB
Hadi Suprapto, Elly Setyo Rini
ilustrasi obat  
VIVAnews - Perusahaan farmasi asal Amerika Serikat mempersoalkan penegakan hak atas kekayaan intelektual di Indonesia.

"Mereka menyampaikan keluhan tersebut kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla saat berkunjung ke Den Haag, Belanda pekan lalu," kata Ketua Komite Amerika Serikat Kadin Indonesia Sofjan Wanandi kepada VIVAnews di Jakarta, Rabu 11Februari2009.

Pasalnya, sebagian besar produk mereka kerapkali dipalsukan dan dijual bebas di Indonesia. Mereka gerah melihat produknya digandakan di Indonesia. Sofjan mengatakan, Wakil Presiden berjanji meninjau ulang aturan HaKI di Indonesia.

Pengusaha farmasi asal Paman Sam itu di antaranya Abbott dan Eli Lilly. "Mereka melaporkan kerugian yang cukup besar dengan beredarnya produk palsu mereka," kata Sofjan yang enggan menyebutkan berapa besar kerugian yang mereka terima.

Sofjan mengakui penegakan HaKI di Indonesia masih sangat lemah. "Masyarakat masih suka mengkopi untuk kepentingan sendiri, bahkan lebih parah lagi untuk dijual lagi," katanya. Selain perusahaan farmasi, perusahaan film, software, dan IT juga mengeluhkan hal yang sama.

Dalam lawatan ke Den Haag Belanda pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla bertemu dengan beberapa pengusaha asal Amerika Serikat, di antaranya Conoco-Phillips, ExxonMobil, Abbott, Eli Lilly, dan Caterpillar.
• VIVAnews 


Tanggapan:
Tanggapan saya adalah bahwa menjiplak, meniru untuk komersial berarti tidak menghargai karya cipta orang lain, mengambil hak ekonomi dan tidak bermoral. Untuk membuat logo atau suatu produk membutuhkan pengorbanan, tenaga, pikiran, biaya dan waktu. selain itu perusahaan yang produknya dijiplak akan rugi besar. Adanya pengorbanan tersebut yang dapat menjadikannya nilai ekonomis dan mempunyai manfaat intelektual yang dapat dinikmati oleh penciptanya. Hak moral melekat pada pribadi pencipta atau penemunya. Ini berkaitan dengan nama baik, kemampuan dan integritas, hanya dimiliki oleh si pencipta. Hak moral tidak dapat dipisahkan dari penciptanya karena bersifat pribadi, kekal, melekat selama hidup. Hak cipta memberikan perlindungan terhadap ciptaan yang memiliki bentuk khas, bersifat pribadi, dan menunjukkan keaslian yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian pencipta sehingga ciptaan itu dapat dilihat. Dapat dibuktikan hasil karyanya, kapan pertama kali dipublikasikan dan adanya kesaksian.
Pemerintah juga harus menindaktegaskan pelaku pelanggaran HAKI. Selain itu dalam rangka menekan angka pembajakan di Indonesia, Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (Timnas PPHKI) dapat membuat program pendidikan dasar hak cipta. Selain itu pemerintah juga harus memberikan penyuluhan tentang pelanggaran HAKI, akibat yang dapat ditimbulkan jika melanggar, karena banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang HAKI tersebut.