Kamis, 03 Maret 2011

tulisan pkn 2

Perlindungan Minoritas sebagai Patokan Oleh :Khaerudin Dalam laporan bersama International for Human Rights dengan Imparsial dan Kontras, tentang kondisi hak asasi manusia di Indonesia pasca tumbangnya rezim orde baru, terdapat satu bab yang mengulas kondisi kelompok minoritas di Indonesia yang diberi judul “Awan Gelap di Cakrawala”. Tentu saja ini hanyalah kiasan bahwwa betapa dalam beberapa tahun terakhir kelompok minoritas di Indonesia, utamanya dalam hal keyakinan, menjadi kelompok yang rentan menjadi sasaran kekerasan. Laporan tahunan United States Commission on International Religious Freedom pada 2010 yang juga dikutip dalam laporan bersama International Federation for Human Rights (FIDH) dengan imparsial dan kontras selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kelompok agama minoritas telah mengalami pelecehan, intimidasi, diskriminasi dan bahkan kekerasan oleh kelompok-kelompok yang intoleran dan garis keras, di bawah bendera islam ortodoks. Alih-alih menyalahkan pelaku kekerasan terhadap kelompok minoritas, negara malah justru sering menjadikan korban sebagai pihak yang dipersalahkan. Laporan FIDH bersama imparsial dan kontras menyatakan, jika pemerintah serius mencegah terjadinya kekerasan berlanjut lagi, semestinya mereka harus menghukum pelaku kekerasan, bukan malah membahayakan hak-hak kelompok yang menjadi korban kekerasan. “Tetapi, mereka yang menjadi korban kekerasan pada akhirnya justru menjadi pihak yang disalahkan”, kata peneliti imparsial, Batara Ibnu Reza. Dia menunjuk Ahmadiyah sebagai salah satu contohnya. Peneliti FIDH, Anne-Chris-tine Habbard, Phd, mengatakan seharusnya dalam negara yang menganut sistem demokrasi, seperti indonesia, perlakuan negara terhadap kelompok minoritas menjadi benchmark (patokan) bagi perlakuan terhadap warga negara secara keseluruhan. “Sebab, apa yang bakal diterima kelompok minoritas itu, yang juga akan diterima seluruh warga negara. Perlakuan terhadap kelompok minoritas seharusnya menjadi benchmark dalam negara demokratis seperti Indonesia,” kata habbard. Sayangnya menurut Habbard, dalam banyak kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia, yang terjadi justru ketiadaan negara untuk bisa mencegahnya. “Aksi polisi sangat minim ketika terjadi pelanggaran terhadap mereka. Seperti tak ada kewenangan negara untuk mencegah pelanggaran hak-hak kaum minoritas,” kata perempuan asal perancis. Dalam kasusu kerusuhan di Temanggung Jawa Tengah, justru kelompok sipil seperti Gerakan Pemuda Ansor, yang merupakan organ otonom organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yang menjadi kelompok minoritas. Dalam banyak hal, organisasi sipil seperti NU malah siap menjadi pelindungan bagi kelompok minoritas sebagai patokan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. KEBHINEKAAN Rais Syuriah PBNU Masdar Farid Mas’udi mengatakan, pilihan tegas NU melindungi kelompok minoritas di Indonesia sebenarnya sejalan dengan sumpah setia organisasi, yang sering dianggap tradisional ini, terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “NU sedari awal sudah bersumpah mendukung NKRI dengan segala kebinekaannya. Jadi, komitmen NU mengawal kebinekaan ini antara lain dengan memberikan perlindungan kepada yang lemah. Siapapun kelompok yang lemah ini. Bahkan bagi NU, perlindungan terhadap kelompok minoritas ini diberikan tak lagi mendasarkan diri pada identitas atau latar belakang kelompok tersebut. Persoalan perbedaan akidah atau keyakinan tak menghalangi NU untuk melindungi mereka. Ini semata demi keutuhan NKRI. Tugas yang seharusnya juga diemban pemegang otoritas di negara ini. Sumber : Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar