Kamis, 03 Maret 2011

tulisan pkn 4

Negeri Para Pengamat Oleh : Ismail Fajrie Alatas Beberapa bulan terakhir ada fenomena menarik di Youtube. Sebuah tim kreatif yang berbasis di Yogyakarta menghadirkan acara talkshow mingguan dengan seorang “pengamat” bernama Toni Blank. Toni bukanlah pengamatan kawakan. Dia bukan akademis atau saka guru yang biasa berkhotbah di mibar-mimbar universitas. Dia juga bukan seorang kolumnis yang rajin mengomentari hiruk pikuk politik media massa. Toni seorang warga Yogyakarta yang entah bagaimana, telah dibaiat sebagai pengamat serba bisa yang mampu berkomentar tentang berbagai hal : mulai dari politik, hukum, ekonomi, hukum, hingga kesenian dan tabung elpiji. Menariknya, komentar-komentar Toni tidak dapat dipahami. Dalam mengartikulasikan sebuah masalah, pembahasan Toni sangat tidak koheren dan terkesan “ngawur”. Kesulitan untuk memahami diperdebat penggunaan kata-kata jargon yang kerap kita dengar di media cetak dan elektronik, seperti “good govverment”, “fakta”, “ranah publik”, “wacana”, “civil society”, “sektor ekonomi produk” dan “law enforcement”. Sebagai contoh, sang pengamat ditanya: - Mas Toni tahu KPK? - KPK adalah suatu komisi pemberantasan koruptor atau yang disebut dengan MACC, mass organization commitment human rights. DISKURSUS SOSIAL Toni blank show adalah sebuah parodi. Toni diangkat sebagai pengamat karena dia menguasai kata-kata kunci dan jargon-jargon yang biasa digunakan oleh para pengamat. Sebuah lelucon apik justru karena kata-kata tersebut kerap digunakan walaupun pada akhirnya kehilangan makna. Yang penting hanyalah penggunaan bahasa, bukan isi dan koherensi wacana. Dengan kata lain, Toni blank show adalah sebuah lelucon yang menertawai diskursus sosial politik kita dewasa ini. Komentar dan pengamatan ini semakin menarik karena kata-kata yang digunakanya begitu kerap terdengar dari mulut para pengamat. Toni menggunakan kata-kata tersebut secara simplitis dan eksesis sehingga menghasilkan parodi atas penggunaan kata-kata tersebut dimedia cetak dan elektronik. Lewat acara parodi tersebut Tono akan menertawakan para pengamat di Indonesia yang kerap mengomentari permasalahan politik, sosial dan ekonomi, tetapi sering kali sulit dipahami. Semakin banyak jargon yang digunakan, wacana semakin tampak berwibawa dan substansial. Sepertinya, Toni blank show adalh sebuah kritik terhadap republik ini yang semakin hari semakin terlihat seperti negeri para pengamat. Tiada hari kita lewati tanpa membaca dan melihat komentar pengamat. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hak menyuarakan pengamatan. Justru dalam sebuah demokrasi kepekaan terhadap berbagai permasalahan adalah hal positif. Fenomena ini menunjukkan, masyarakat semakin terlibat dalam proses demokratisasi. Namun yang jadi masalah justru pengemasan wacana publik dalam bahasa yang makin kurang dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Para pengamat menggunakan jargon-jargon yang diangkat dari ilmu sosial dan ekonomi untuk mengemas pendapat mereka hingga mencapai tinglkat eksesif. Ekses tersebut kemudian menghasilkan pengamburan dari permasalahan yang sedang dibahas. Hasilnya adalah munculnya ideologi bahasa yang telah banyak dibahas oleh para antropolog linguistik. Kata-kata yang digunakan oleh para pengamat di Indonesia diangkat dari teks-teks ilmu sosial. Semua orang dapat mengajukan pendapat seputar permasalahan yang ada. Namun, untuk dikenal sebagai pengamat serius. Seseorang harus dapat berakrobat dengan bahasa teknis ilmu sosialsehingga menghasilkan wacana sosial-teoritis yang dianggap representatif untuk dihadirkan dimedia. Efek sampingnya justru wacana tersebut semakin terceraikan dari realitas permasalahan yang ada.. Pengakuan intelektualitas Pada akhirnya, menonton beberapa episode Toni blank show terasa sangat membosankan karena analisis dan kata-kata yang digunakan terasa repetitf. Dalam hal ini, sebenarnya ada sebuah argumen lain dari talk show tersebut. Karena penggunaan jargon yang berulang-ulang Toni blank show dapat di pahami sebagai sebuah kritik terhadap para pengamat yang tak kunjung henti menggunakan bahasa yang sama dalam mengomentari masalah yang berbeda. Tendensi seperti ini juga kerap kita temui dalam membaca dan mendengarkan para pengamat. Karena seringnya muncul di media, banyak dari mereka mengulangi poin yang sama walau pertanyaannya berbeda. Inilah salah satu efek dari ideologi bahasa. Dimana bahasa yang digunakan jadi jauh lebih penting dari pada realitas dan substansi yang dibicarakan. Alhasil yang ada justru reafirmasi dari status akademik dan pendakuan intelektualitas para komentator sebagai mereka yang menguasai baha teknis guna memahami permasalahan sosial. Hasilnya adalah perang wacana dan perdebatan tak kunjung henti, justru disaat pragmatisme sangat dibutuhkan. Tidak heran jika republik ini semakin terlihat saperti negeri para pengamat. Sumber : Ismail Fajrie Alatas (mahasiswa Program Doktoral Sejarah dan Antropologi di Universitas Michigan, AS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar