Kamis, 03 Maret 2011

tulisan pkn 1

Anatomi Revolusi Oleh : Budiarto Shambazy Cuma butuh 29 hari untuk menumbangkan rezim di Tunisia yang 22 tahun berkuasa. Hanya butuh waktu kurang dari sebulan untuk memaksa Presiden Mesir Husni Mubarak akhirnya menyerah. Ini bukti bahwa politics is the art of the possible dan revolusi bisa menumbangkan siapa saja. Politik bukan rumus matematika. Ada gurauan politik bisa berdarah seperti dimaknai oleh gabungan dua kata Yunani: poly (banyak) dan tics ( parasit penghisap darah). Revolusi Melati di Tunisia dan Revolusi 25 Januari di Mesir mewabah cepat kemana-mana. Revolusi tak ubahnya penyakit flu: tak perlu obat, hanya butuh pemimpin yang sadar ia hanya butuh tidur lama alias “istirahat” saja. Memang butuh obat “flu politik” banyak: pidato, imbauan, rayuan, gertakan, gas air mata, pentungan, bedil, perombakan (reshuffle), bahkan nyawa. Namun, seperti kata dokter, tak semua obat manjur dan jika terlalu banyak di tenggak membuat overdosis. Lagi pula konyol jika ada pemimpin nekat mencegah jutaan warga tumpah ke jalan mencari jalanya sendiri. Itu jenis pemimpin yamg masih memakai logika “analog” di era “digital” yang sudah banjir media atau jejaring sosial ini. Revolusi atau perubahan apapun namanya tak kenal batas negara dan lingkup masa. Apa yang terjadi di Magribi atau Timur Tengah kini sudah membuat kalang kabut rezim di Kuba. Revolusi-revolusi klasik kadang diletupkan oleh persoalan pribadi. Di Tunisia ada martir pedagang sayur buah gerobak, Mohamed Bouazizi yang membakar diri, yang memaksa Presiden Zine al-Abidine Ben Ali minggat ke Arab Saudi. Menurut teorinya, revolusi meledak hanya kalau ada tokoh-tokohnya. Revolusi 25 Januari tidak punya tokoh karena dipelopori jutaan warga lintas usia, orang kaya ataupun miskin, serta ria atauppun wanita. Ingat, tumbangnya rezim-rezim komunis Eropa Timur pada akhir 1980-an disebabkan hanya perestroika dan glasnotsang dua mantra. Ternyata taglines Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev itu jauh lebih sakti daripada mantra tukang sihir “simsalabim” atau abrakadabra”. Jika Bung Karno- Bung Hatta tak diculik para pemuda Rengasdengklok, mugkin kita batal merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Andaikan tak ada pembunuhan serta penculikkan jendral-jendral tanggal 1 Oktober 1965, barang kali Orde Baru gagal mengudeta Orde Lama. Itulah bukti bahwa “faktor X” siap mengintai untuk mengubah sejarah kita. Jika tidak hati-hati, perubahan besar bukan mustahil datang lagi jikalau pemerintah membiarkan terus terjadinya intoleransi terhadap agama. Kini revolusi Melati dan Revolusi 25 Januari telah menjalar ke Yaman, Bahrain, Suriah, Jordania dan Libya. Pelajaran pertama, penguasa terpaksa mengoreksi diri: tak akan mencalonkan diri kembali sebagai presiden atau berhenti sesuai dengan jadwal kepemimpinanya. Pelajaran kedua, revolusi-revolusi di Magribi atau Timur Tengah membuka lebar-lebar mata kita bahwa politik dinasti omong kosong belaka. Ini merupakan peringatan bagi istri atau anak penguasa dinegara mana saja. Pelajaran ketiga, kekuasaan tak bisa bersembunyi lagi dari rakyatnya. Seperti kata pepatah bau bangkai pasti akan tercium juga. Pelajaraan keempat, revolusi modern bersenjatakan jejaring sosial yang mudah diakses kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja. Revolusi dunia maya ini mengandalkan ideologi “It’s me” alias “ inilah saya”. Merekalah “anak-anak Facebook, Tweets dan Bloggers”, yang ingin suaranya didengar tanpa lewwati perantara. Mereka makin kurang percaya kepada institusi-institusi konvensional, seperti pemerintah, parlemen, partai,aparat keamanan dan hukum, LSM, serta media massa. “Galaksi internet” telah menjadi partai politik mereka. Mereka sudah menarik garis batas yang jelas untuk melawan clumsy regimes yang menyajikan demokrasi semu di Magribi atau Timur Tengah. Kata revolusi bagi mereka hanyalah masalah semantik semata-mata. Mereka mengingatkan kita yang sudah tua masih yang masih saja percaya kepada mitos bahwa revolusi mengandung mara bahaya. Penguasa berteriak, “Stop revolusi!” Mereka membalas, “Stop korupsi!” Mau tahu apa slogan paling top selama Revolusi Melati, Revolusi 25Januari, dan gejolak yang sebentar lagi pecah jadi Revolusi di Magribi atau Timur Tengah? “Mati, matilah korupsi dan koruptor!” teriak mereka. Revolusi datrang secara natural, bukan sekedar copy paste saja. Ia dipimpin generasi muda. Mereka melancarkan tuntutan sama : hak memilih dan mengganti pemimpin, menggayung korupsi dan mendapat kesempatan kerja. Ada lagu revolusi berjudul “Rais Lebled” karya rapper Tunisia, El General, yang kini laris di Magribi atau Timur Tengah, inilah liriknya: “Tuan Presiden. Rakyat anda sekarat. Makan sampah dimana-mana. Lihat saja sendiri. Penderitaan dimana-mana. Saya tidak takut anda. Walau tahu cuma cari gara-gara. Karena saya melihat keadilan dimana-mana. Sumber: kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar