Kamis, 03 Maret 2011

tulisan pkn 3

KEJAHATAN KEMANUSIAAN Indonesia Didesak Segera Meratifikasi Statuta Roma Pemerintah Indonesia didesak segera meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional. Ratifikasi Statuta Roma dapat menjadi salah satu cara menghukum kejahatan persekusi atau tindakan-tindakan yang melanggar norma internasional yang didasarkan atas perbedaan politik, ras, agama, hingga jenis kelamin. Desakan meratifikasi Statuta Roma dinyatakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional di Jakarta, sebagai bentuk keprihatinan atas peristiwa kekerasan berdasarkan perbedaan agama dan keyakinan. Mahkamah Pidana Internasional, yang didirikan berdasarkan Statuta Roma pada 17 juli 1998, mengatur kewenangan, mengadili kejahatan yang menjadi perhatian Internasional, seperti kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresif. Menurut juru bicara koalisi, Bhatara Ibnu Reza, kekerasan atas nama perbedaan agama dan keyakinan yang terus menerus muncul bisa dimasukkan sebagai kejahatan atas kemanusiaan. Kasus penyerangan yang berujung pada tewasnya jema’ah Ahmadiyah di Cikeusik dapat dikatagorikan sebagai persekusi. “Persekusi ini setidaknya memuat 3 katagori paling umum, yaitu serangan terhadap penduduk sipil, ada kebijakan negara yang melatarbelakangi serangan, serta dilakukan ssecara sistematis dan meluas,” kata Bhatara. Zaenal Abidin dari lembaga studi dan advokasi masyarakat (Elsam) mengatakan, dengan meratifikasi Statuta Roma, kejahatan kemanusiaan seperti penyerangan terhadap jema’ah Ahmadiyah bisa diadili di Mahkamah Pidana Internasional, diharapkan pelakunya bisa jera. “Hukumannya bisa sampai seumur hidup”, ujarnya. Bhatara menyayangkan pemerintah yang belum meratifikasi Statuta Roma meski tahun 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri telah mengesahkan Rencana Aksi Manusia 2004-2009. Dalam rencana aksi itu, Indonesia seharusnya sudah meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008. Dari pertemuan pimpinan Komnas Hak Asasi Manusia dengan beberapa tokoh di Jakarta, pemerintah dimintai mengambil tanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Jika dibiarkan terus menggantung tanpa penyelesaian jelas, kasus-kasus itu akan menyandera negara Indonesia, termasuk di mata Internasional. Hadir dalam pertemuan itu ketua komnas HAM Ifdhal Kasim, mantan wakil presiden Yusuf kalla, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, serta pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng yang juga mantan wakil ketua Komnas HAM KH Salahudin Wahid. Sumber : kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar